ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (PENAEUS MONODON FABRICUS) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA
ANALYSIS CHALLENGE TEST FRY PRAWNS (PENAEUS MONODON FABRICUS) TREATMENT HAS BEEN PROBIOTICS AND ANTIBIOTICS WITH DIFFERENT DOSAGE
Patang
Staf Pengajar Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Staf Pengajar Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
ABSTRAK
Penelitian uji tantang benur windu (Penaeus monodon Fabricius) yang sebelumnya telah mendapatkan perlakuan pemberian probiotik Bacillus dengan dosis 0,75 mg/l, 1,0 mg/l dan 1,25 mg/l, bakteri Vibrio harveyi resisten rifamvicin 6 mg/l, serta antibiotik Oxytetracyclin, dan Erytromicin masing-masing sebesar 1 mg/l dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui ketahanan tubuh larva udang terhadap sintasan larva udang windu (Penaeus monodon Fabricius).
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada saat uji tantang larva udang dengan bakteri Vibrio harveyi pada tingkat kepadatan 105, maka perlakuan kontrol memiliki tingkat kematian tertinggi, utamanya pada awal-awal pemberian bakteri Vibrio harveyi. Sedangkan perlakuan terbaik adalah C1 (probiotik 1,25 ppm dan oxytetracycline 1 ppm) dimana pada awal perlakukan tidak banyak mengalami kematian larva, dan kematian larva tersebesar pada jam 84 setelah perlakuan.
ABSTRACT
The research challenge test of prawns (Penaeus monodon Fabricius), which previously had been getting treatment at a dose of Bacillus probiotic administration of 0.75 mg/l, 1.0 mg/l and 1.25 mg/l, resistant bacteria Vibrio harveyi rifamvicin 6 mg/l, and antibiotics Oxytetracyclin, and Erytromicin each of 1 mg / l carried out in order to determine the body's resistance against the larvae of shrimp larvae survival rate of prawns.
Research results show that At the time of larval prawns challenge test with the bacterium Vibrio harveyi in the density of 105, the control treatment had the highest mortality rate, especially in the early provision of the bacteria Vibrio harveyi. While the best treatment is early treatment of C1 which does not undergo much larval mortality, larval mortality and the largest at 84 after treatment, but the highest survival rate obtained in the treatment of A21-A23 by 25%, following treatment of C11-C13 (21.67%), treatment of B11-B13 (13.33%), C21-C23 treatment (11.67%), D1-D3 treatment (8.33) and A11-A13 treatment (0.67%).
PENDAHULUAN
Budidaya udang windu mulai berkembang sebagai suatu usaha industri sejak tahun 1980-an, namun pemanfaatannya masih sering mengalami berbagai kendala terutama yang disebabkan oleh serangan organisme patogen sehingga mengakibatkan menurunnya produksi, baik pada usaha pembenihan maupun pada usaha pembesaran di tambak (Atmomarsono, 2000).
Kegagalan budidaya udang windu maupun di unit pembenihan umumnya disebabkan oleh penyakit. Penyakit udang dapat disebabkan oleh infektor, lingkungan, nutrisi, faktor kepadatan dan kesalahan pengelolaan baik pada tingkat pembenihan maupun budidaya. Mekanisme berkembangnya penyakit pada umumnya tergantung pada lingkungan dan sistem pertahanan tubuh organisme. Lingkungan yang buruk memberi kesempatan kepada infektor yang bersifat patogen berkembang. Peningkatan kepadatan bakteri pada media pemeliharaan berpotensi meningkatkan infeksi bakteri patogen pada udang. Bakteri jenis Vibrio harveyi bersifat patogen pada udang (Effendy, 2004 dalam Galugu, 2008).
Beragam spesies bakteri menjadi penyebab penyakit pada udang dan menyerang berbagai stadia udang terutama stadia mysis dan post larva. Bakteri utama penyebab penyakit pada udang seperti Vibrio, Aeromonas, Pseudomonas dan alcaligenes (Irianto, 2003). Menurut Rantetondok (2002), sistem kekebalan udang hanya bisa ditingkatkan melalui peningkatan respon non spesifik. Salah satu jenis penyakit yang merupakan masalah serius dalam budidaya udang windu di tambak dan panti pembenih adalah vibriosis yang disebabkan oleh bakteri Vibrio spp. Diantara kasus-kasus vibriosis yang ada, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi merupakan salah satu penyakit yang cukup serius. Bakteri ini menyerang baik larva udang dip anti-panti pembenihan maupun udang di tambak pembesaran (Atmomarsono, et al., 1993).
Larva yang terserang penyakit Vibrio harveyi memperlihatkan tanda-tanda antara lain, kalau malam kelihatan menyala, kondisi tubuh larva lemah, berenang lambat, nafsu makan menurun, badan bercak-bercak merah, bentuknya tidak normal dan terjadi perubahan warna tubuh (Rukyani, 1989).
Sebagai alternatif dalam pencegahan vibriosis pada udang adalah pemanfaatan bakteri probiotik yang aman dan ramah lingkungan dengan tujuan untuk memperbaiki mutu lingkungan tambak secara alami melalui kerja bakteri pengurai. Beberapa kelompok/jenis bakteri probiotik yang telah diproduksi secara komersil dan diaplikasikan di lapangan antara lain Bacillus, Lactobacillus dan Fotosintetik bakteria (Poernomo, 2004). Dalam penelitian ini telah diuji ketahanan tubuh larva udang dalam menghadapi vibrio harveyi, setelah diberi perlakuan probiotik dan antibiotik dengan jenis dan dosis berbeda.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tubuh larva udang yang telah diberi perlakuan probiotik dan antibiotik dengan jenis dan dosis berbeda terhadap sintasan larva udang windu (Penaeus monodon Fabricius).
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (experimental research) yang akan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) untuk mengkaji dosis penggunaan probiotik Bacillus dan penggunaan berbagai antibiotik yang berbeda terhadap peningkatan sintasan post larva udang windu (Penaeus monodon Fabricius).
Hewan uji yang digunakan terdiri atas post larva udang windu (PL-12), yang sebelumnya telah dipelihara selama 9 hari dengan perlakuan probiotik Bacillus dengan dosis 0,75 mg/l, 1,0 mg/l dan 1,25 mg/l (Galugu, 2008), bakteri Vibrio harveyi resisten rifamvicin 6 mg/l, serta antibiotik Oxytetracyclin, dan Erytromicin masing-masing sebesar 1 mg/l. Letak satuan percobaan setelah dilakukan pengacakan seperti terlihat pada Gambar 1.
B11 | C13 | A11 | A23 | D3 | C23 | D2 | D1 | C12 | B22 |
B12 | A13 | C22 | A12 | B22 | A22 | B21 | C11 | A21 | C21 |
B13 |
Gambar 1. Dena Penempatan Satuan Percobaan
Keterangan:
A1: Perlakuan probiotik 0,75 ppm dan oxytetracycline 1 ppm
A2: Perlakuan probiotik 0,75 ppm dan erytromicin 1 ppm
B1: Perlakuan probiotik 1,00 ppm dan oxytetracycline 1 ppm
B2: Perlakuan probiotik 1,00 ppm dan erytromicin 1 ppm
C1: Perlakuan probiotik 1,25 ppm dan oxytetracycline 1 ppm
C2: Perlakuan probiotik 1,25 ppm dan erytromicin 1 ppm
D: Kontrol (tanpa perlakuan)
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Hatchery Mini Politeknik Pertanian Negeri Pangkep pada bulan Juli 2011.
Prosedur Penelitian
Uji tantang dilakukan dengan menggunakan wadah stoples volume 2 liter dan diisi dengan media air steril baru. PL udang windu dari setiap satuan percobaan setelah pemeliharaan selama 9 hari dengan perlakuan probiotik dan antibiotik, dipindahkan dan dimasukkan ke dalam masing-masing stoples dengan kepadatan 10 ekor/l atau sebanyak 20 ekor/stoples. Selanjutnya, setiap unit percobaan diinfeksi dengan Vibrio harveyi 105 cfu/ml. Uji tantang dilakukan selama 96 jam dengan pemberian pakan dan aerasi. Selama uji tantang, sisa pakan dan kotoran disipon setiap hari dari wadah pemeliharaan untuk menghindari kematian benur karena penurunan kualitas air. Pengamatan dimulai jam 6 pasca infeksi dan menghitung jumlah benur yang hidup. Pengamatan selanjutnya dilakukan setiap 6 jam. Penghitungan sintasan pada akhir uji tantang dilakukan setelah pengamatan selama 96 jam (Galugu, 2008). Sintasan udang dihitung pada akhir penelitian menurut Effendie (1979).
Pakan yang sehat diberikan pada stadia pasca larva udang windu yaitu komersial dengan dosis 1 ppm. Frekuensi pemberian pakan 5 kali per hari yaitu pukul 07.00; 11.00; 15.00;18.00; dan 22.00 (Nurdjana et al., 1989 dalam Bakhtiar, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Tantang Perlakuan A11-A13
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan A11-A13 (probiotik 0,75 ppm dan oxytetracycline 1 ppm) menunjukkan bahwa perlakuan A13 memiliki tingkat mortalitas tertinggi, menyusul perlakuan A12 dan A11. Hasil uji tantang menunjukkan bahwa pada perlakuan A23 sudah mengalami kematian massal mulai pada jam ke-36-42 setelah dilakukan uji tantang terhadap Vibrio harveyi (Gambar 2). Pada perlakuan ini sintasan larva windu yang diperoleh hanya sebesar 0,67 %.
Gambar 2. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan A11-A13
Uji Tantang Perlakuan A21-A23
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan A21-A23 (probiotik 0,75 ppm dan erytromicin 1 ppm) menunjukkan bahwa perlakuan A23 memiliki tingkat mortalitas tertinggi, menyusul perlakuan A22 dan A21. Hasil uji tantang menunjukkan bahwa pada perlakuan A23 sudah mengalami kematian massal mulai pada jam ke-36-42 setelah dilakukan uji tantang terhadap Vibrio harveyi (Gambar 3). Pada perlakuan ini sintasan larva windu yang diperoleh hanya sebesar 25 %.
Gambar 3. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan A21-A23
Uji Tantang Perlakuan B11-B13
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan B11-B13 (probiotik dan
oxytetracycline 1 ppm). Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa uji tantang
larva udang windu yang paling banyak mengalami kematian terbesar pada
perlakuan B13, menyusul B12 dan B11. Pada perlakuan B13 justru sudah
mengalami kematian yang besar mulai awal dilaksanakannya uji tantang
yaitu sekitar jam ke-6 setelah diberi perlakuan. Pada perlakuan ini
sintasan larva windu yang diperoleh hanya sebesar 13,33 %.
Gambar 4. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan B11-B13
Uji Tantang Perlakuan B21-B23
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan B21-23 (probiotik dan
erytromicin 1 ppm). Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa uji tantang larva
udang windu yang paling banyak mengalami kematian terbesar pada
perlakuan B23, menyusul B22 dan B21. Pada perlakuan B23 justru sudah
mengalami kematian terbesar mulai 48 jam dilaksanakannya uji tantang
yaitu sekitar jam ke-7 setelah diberi perlakuan. Pada perlakuan ini
sintasan larva windu yang diperoleh hanya sebesar 5 %.
Gambar 5. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan B21-B23
Uji Tantang Perlakuan C11-C13
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan B21- (probiotik 1,25 ppm
dan oxytetracycline 1 ppm). Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa uji tantang
larva udang windu yang paling banyak mengalami kematian terbesar pada
perlakuan C13, menyusul C12 dan C11. Pada perlakuan C13 larva mulai
mengalami kematian besar pada 84 jam dilaksanakannya uji tantang yaitu
sekitar jam ke-13 setelah diberi perlakuan. Pada perlakuan ini sintasan
larva windu yang diperoleh hanya sebesar 21,67 %.
Gambar 6. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan C11-C13
Uji Tantang Perlakuan C21-C23
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan C21-C23 (probiotik 1,25
ppm dan oxytetracycline 1 ppm). Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa uji
tantang larva udang windu yang paling banyak mengalami kematian terbesar
pada perlakuan C23, menyusul C22 dan C21. Pada perlakuan C23 larva
mulai mengalami kematian besar pada 36 jam dilaksanakannya uji tantang
yaitu sekitar jam ke-5 setelah diberi perlakuan. probiotik 1,25 ppm dan
oxytetracycline 1 ppm. Pada perlakuan ini sintasan larva windu yang
diperoleh hanya sebesar 11,67 %.
Gambar 7. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan C21-C23
Uji Tantang Perlakuan D1-D3 (Kontrol)
Hasil analisis uji tantang terhadap perlakuan D1-D3 (kontrol). Pada
Gambar 8 menunjukkan bahwa uji tantang larva udang windu yang paling
banyak mengalami kematian terbesar pada perlakuan C23, menyusul C22 dan
C21. Pada perlakuan C23 larva mulai mengalami kematian besar pada 36 jam
dilaksanakannya uji tantang yaitu sekitar jam ke-5 dan pada jam ke 84
semua larva telah mati. Pada perlakuan ini sintasan larva windu yang
diperoleh hanya sebesar 8,33 %.
Gambar 8. Hasil Uji Tantang untuk Percobaan D1-D3
Uji Tantang Rata-rata Semua Perlakuan (A1-D)
Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa tingkat kematian larva udang terbesar
pada perlakuan D (control), utamanya pada awal-awal pemeliharaan.
Menyusul perlakuan A2 dan terakhir pada perlakuan B2.
Gambar 9. Hasil Uji Tantang Rata-rata untuk Percobaan A1-D
KESIMPULAN
Pada saat uji tantang larva udang dengan bakteri Vibrio harveyi pada
tingkat kepadatan 105, maka perlakuan kontrol memiliki tingkat kematian
tertinggi, utamanya pada awal-awal pemberian bakteri Vibrio harveyi.
Sedangkan perlakuan terbaik adalah C1 dimana pada awal perlakukan tidak
banyak mengalami kematian larva, dan kematian larva tersebesar pada jam
84 setelah perlakuan, tetapi Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan
A21-A23 sebesar 25%, menyusul perlakuan C11-C13 (21,67%), perlakuan
B11-B13 (13,33%), perlakuan C21-C23 (11,67%), perlakuan D1-D3 (8,33) dan
perlakuan A11-A13 (0,67%).
DAFTAR PUSTAKA
Atmomarsono, M., M. I. Madeali., A. Tompo., dan Muliani. 1993. bakteri
Penyebab Penyakit pada Udang Windu di Perairan Tambak Sulawesi Selatan.
Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros.
-----. 2000. Teknologi Budidaya Udang Berkelanjutan. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Makalah pada Konferensi Nasional II Pengelollaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Indonesia, Makassar 15-17 Mei 2000.
Bakhtiar. 2004. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Untuk Mengontrol Penyakit Bakteri Vibrio harveyi pada Pasca Larva Udang Windu Penaeus monodon Fabricius. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Effendie, M.I. 1979. Metode Penelitian Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Galugu, M. 2008. Pengaruh Probiotik Bacillus Plus-1 Pada Dosis Berbeda Terhadap Kualitas Air, Bakteri Vibrio harveyi, Sintasan dan total Haemocyte Post larva Udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Tesis tidak diterbitkan. Makassar ; Program Pascasarjana UNHAS.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta
Poernomo, A. 2004. Teknologi probiotik Untuk Mengatasi Permasalah tambak Udang dan lingkungan Budidaya. Paper Presented in the national Symposium on development an Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, Semarang, January 27-29 2004.
Rantetondok, A. 2002. Pengaruh Imunostimulan β-Glukan dan Lipoposakarida Terhadap Respon Imun dan Sintasan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius). Disertasi tidak diterbitkan. Program pascasarjana Universitas hasanuddin. Makassar.
Rukyani, A. 1989. Penyakit Udang. Disampaikan pada Kursus kilat Peningkatan Produktivitas dan efesiensi Budidaya Udang Intensif. Puslitbang Perikanan. Jakarta 18-19 januari 1989.
Download Jurnal
-----. 2000. Teknologi Budidaya Udang Berkelanjutan. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Makalah pada Konferensi Nasional II Pengelollaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Indonesia, Makassar 15-17 Mei 2000.
Bakhtiar. 2004. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Untuk Mengontrol Penyakit Bakteri Vibrio harveyi pada Pasca Larva Udang Windu Penaeus monodon Fabricius. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Effendie, M.I. 1979. Metode Penelitian Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Galugu, M. 2008. Pengaruh Probiotik Bacillus Plus-1 Pada Dosis Berbeda Terhadap Kualitas Air, Bakteri Vibrio harveyi, Sintasan dan total Haemocyte Post larva Udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Tesis tidak diterbitkan. Makassar ; Program Pascasarjana UNHAS.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta
Poernomo, A. 2004. Teknologi probiotik Untuk Mengatasi Permasalah tambak Udang dan lingkungan Budidaya. Paper Presented in the national Symposium on development an Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, Semarang, January 27-29 2004.
Rantetondok, A. 2002. Pengaruh Imunostimulan β-Glukan dan Lipoposakarida Terhadap Respon Imun dan Sintasan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius). Disertasi tidak diterbitkan. Program pascasarjana Universitas hasanuddin. Makassar.
Rukyani, A. 1989. Penyakit Udang. Disampaikan pada Kursus kilat Peningkatan Produktivitas dan efesiensi Budidaya Udang Intensif. Puslitbang Perikanan. Jakarta 18-19 januari 1989.
Download Jurnal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar