Rabu, 16 Juli 2014

PENGARUH SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH TERHADAP KOMUNITAS HUTAN MANGROVE (KASUS DI KABUPATEN SINJAI)




PENGARUH SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH TERHADAP KOMUNITAS HUTAN MANGROVE (KASUS DI KABUPATEN SINJAI)



INFLUENCE OF PHYSICAL AND CHEMICAL SOIL OF COMMUNITY FOREST MANGROVE (CASE IN SINJAI REGENCY)

Oleh :

1)    PATANG
1)        Staf Pengajar Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

ABSTRAK
Penelitian dilakukan di Desa Tongke-tongke dan Lingkungan Pangasa Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh parameter lingkungan seperti sifat fisik dan kimia tanah terhadap komunitas hutan mangrove di Kabupaten Sinjai.
Hasil penelitian menunjukkan parameter lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove di dua lokasi penelitian menunjukkan pH yang rendah sekitar 6,1-6,8 namun masih relevan dengan pertumbuhan hutan mangrove, kedua lokasi memiliki kelas tekstur lempung berdebu untuk semua tempat pengambilan sampel dan hal ini masih layak untuk pertumbuhan mangrove, sehingga tidak mengganggu kehidupan mangrove di lokasi penelitian.
Kata kunci : sifat fisik, sifat kimia, mangrove.

ABSTRACT
The study was conducted in the village of Tongke-tongke and Lingkungan Pangasa Samataring Village District East Sinjai of Sinjai Regency in order to determine the effect of environmental parameters such as soil physical and chemical properties of the mangrove forest communities in the district of Sinjai. The results showed the soil environmental parameters that influence the growth of mangroves at two locations showed a low pH around 6.1 to 6.8, but still relevant to the growth of mangrove forests, both locations have a dusty clay texture classes for all sampling sites and this still viable for growing mangroves, so it does not interfere with the lives of mangroves in the study site.
Key word : Physical properties, chemical properties, mangrove



PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuaria yang didominasi oleh halofita, yaitu tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan (Juwana, 2004). Sedangkan Nybakken (1992) menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varitas komunitas tumbuhan pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesis pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Tumbuhan mangrove tumbuh di atas dataran lumpur digenangi air laut atau air payau sewaktu air pasang atau digenangi air sepanjang hari. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjaminterpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput dan hewan jenis lainnya. Di samping itu, hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu, juga sebagai kehidupan dan sumber reseki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang sangat tergantung kepada sumber daya alam dari hutan mangrove yang ada (Fachrul, 2007).
Pengelolaan hutan mangrove seringkali dihadapkan pada suatu masalah, bagaimana menciptakan keseimbangan antara 3 fungsi hutan mangrove.
fungsi ekologis, ekonomi dan fisik
(Abdullah, 1990). Selanjutnya, Bengen (2000) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap semua pihak, baik yang berada disekitar kawasan maupun diluar kawasan.
Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi penyambung darat dan laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga menjadi penyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitarnya (Fachrul, 2007).
Perkembangan hutan mangrove tidak dapat dilepas dengan aspek lingkungan dimana mangrove tersebut tumbuh dan berkembang. Aspek lingkungan yang dimaksud adalah aspek parameter lingkungan seperti sifat fisik tanah (tekstur dan struktur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan N). Sedangkan Nontji (1993) menyatakan kesuburan perairan sekitar kawasan hutan mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik yang berasal dari guguran serasah. Hal inilah yang dikaji dalam penelitian ini, kaitannya dengan pertumbuhan dan komunitas hutan mangrove.

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sifat fisik dan kimia tanah terhadap komunitas hutan mangrove (kasus di Kabupaten Sinjai)




METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
               Desain penelitian yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat deskriptif analisis yang akan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif yang berusaha mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya.
Lokasi dan Waktu Penelitian
               Format penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Penelitian ini akan dilaksanakan di dua desa/kelurahan yaitu Desa Tongke-tongke dan Lingkungan Pangasa Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu bulan September sampai Nopember 2010.
Teknik Pengumpulan Data
Sebelum dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan terlebih dahulu pengamatan lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan hutan dengan tujuan untuk melihat secara umum hutan mangrove. Selanjutnya dilakukan pembangian daerah pengamatan menjadi tiga yaitu stasiun sampel untuk mengetahui fitososiologi (struktur dan klasifikasi), dan komposisi jenis mangrove yaitu stasiun yang mewakili daerah yang masih memiliki vegetasi mangrove tebal, vegetasi sedang dan stasiun yang mewakili daerah yang hanya sedikit ditumbuhi vegetasi mangrove. Pada masing-masing stasiun ini dibuat transek garis tegak lurus garis pantai ke arah darat. Panjang garis transek bervariasi menurut ketebalan garis hijau (Fachrul, 2007).
Pengambilan sampel dilakukan pada jarak antara 0-10 m, 20-30 m dan 40-50 m dari garis pantai dan seterusnya. Dari setiap transek, data vegetasi diambil dengan menggunakan metode kuadrat berukuran 10x10 m2 untuk pohon berdiameter > 10 cm yang terletak di sebelah kiri dan atau kanan transek. Pada setiap petak tersebut dibuat petak yang lebih kecil dengan ukuran 5x5 m2. Dalam petak itu dikumpulkan data tentang anak pohon berdiameter 2-10 cm (Fachrul, 2007). Tanah diambil lalu dimasukkan dalam kantong plastik dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Oleh karena, hutan mangrove pada lokasi penelitian sangat luas, maka tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian secara sensus, dan oleh sebab itu penelitian dilaksanakan secara sampling terhadap tanaman atau vegetasi mangrove yang menjadi obyek penelitian.
Metode pengumpualan data yang akan dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini atau pemantauan vegetasi akan digunakan metode transek yaitu jalur sempit melintang pada lahan yang akan diteliti. Tujuan metode ini untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat.  Untuk melengkapi analisis vegetasi dalam komunitas hutan mangrove ini, dikumpulkan data parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan mangrove seperti sifat fisik tanah (tekstur dan struktur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan N).
Analisis data
Tanah hasil sampling dianalisis di analisis laboratorium Kimia dan Tanah Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Parameter yang dianalisis adalah sifat fisik dan kimia tanah. Sifat fisik yang dianalisis adalah tekstur tanah; sedangkan sifat kimia tanah yang dianalisis adalah kemasaman dan N.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tanah di laboratorium tanah Politeknik Pertanian Negeri Pangkep terhadap kualitas tanah di lokasi penelitian yaitu di Desa Tongke-Tongke dan Lingkungan Pangasa dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.



Tabel 1. Kualitas Tanah Hutan Mangrove berdasarkan Tingkat Kepadatan Pohon di desa Tongke-Tongke, 2011

No

Kepadatan Pohon

pH

N (%)
Tekstur (%)

Kelas tekstur
Pasir
Liat
Debu
1
Padat
6,6
0,16
20
21
59
Lempung Berdebu
2
Sedang
6,8
0,18
20
20
60
Lempung Berdebu
3
Jarang
6,4
0,12
18
21
61
Lempung Berdebu
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kimia dan Tanah Politeknik Pertanian Negeri Pangkep


Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas tanah hutan mengrove di lokasi penelitian khususnya di desa Tongke-Tongke memiliki kualitas tanah yang hampir sama baik pada kepadatan pohon mangrove yang jarang, sedang dan padat. pH tanah berkisar antara 6,4 – 6,8. Nilai pH ini masih sangat cocok untuk pertumbuhan hampir semua jenis mangrove khususnya Rhizhopora. Namun demikian, kandungan N (%) masih tergolong kecil karena hanya berkisar antara 0,12-0,18% saja. Berdasarkan tekstur tanahnya, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian baik dengan kepadatan jarang, sedang maupun padat umumnya didominasi oleh tekstur debu dengan tekstur antara 59-61%.
Berbeda dengan hasil penelitian Susiana (2012) yang melakukan penelitian di Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur menunjukkan kemasaman tanah pada semua lokasi penelitian cenderung netral-basa. Hasil penelitian Kusumahadi  (2008) juga menunjukkan pH tanah tanpa persoalan, dengan kisaran antara 5,51 – 7.09. Kategori kemasaman tanah di areal rehabilitasi ini adalah agak masam sampai netral. Akan tetapi, bila dibandingkan antara jalur hijau, pematang tambak dan lokasi pembibitan nampak bervariasi, tetapi perbedaannya kecil bahkan hampir sama, yaitu diantara 5,51-5,59 (agak masam) pada pematang tambak 6,24-7,09 (agak masam sampai netral) pada jalur hijau dan 6.80-9.90 (netral) pada lokasi pembibitan. Kondisi pH tanah yang demikian ini, nampaknya juga menjadi faktor perombakan bahan organik menjadi lancar



Tabel 2. Kualitas Tanah Hutan Mangrove berdasarkan Tingkat Kepadatan Pohon di Lingkungan Pangasa, 2011

No

Kepadatan Pohon

pH

N (%)
Tekstur (%)

Kelas tekstur
Pasir
Liat
Debu
1
Padat
6,1
0,15
17
22
61
Lempung Berdebu
2
Sedang
6,4
0,18
19
22
59
Lempung Berdebu
3
Jarang
6,8
0,19
19
21
60
Lempung Berdebu
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kimia dan Tanah Politeknik Pertanian Negeri Pangkep


Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas tanah hutan mengrove di lokasi penelitian khususnya di Lingkungan Pangasa menunjukkan nilai pH tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada lokasi yang jarang pohon mangrovenya, maupun pada lokasi yang sedang maupun padat pohon mangrovenya, yaitu berkisar antara 6,1-6,8. Nilai pH ini tergolong masih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove berbagai jenis termasuk jenis Rhizophora. Hal ini juga berbeda dengan hasil penelitian Susiana (2012) yang melakukan penelitian di Hutan mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur menunjukkan kemasaman tanah pada semua lokasi penelitian cenderung netral-basa. Demikian pula nilai N (%) juga masih tergolong rendah dengan kisaran antara 17-19%. Namun, nilai N (%) di lokasi Lingkungan Pangasa masih tinggi dibandingkan dengan N tanah di Desa Tongke-Tongke. Seluruh tanah di lokasi penelitian baik di Desa Tongke-Tongke maupun di lingkungan Pangasa memiliki kelas tekstur lempung berdebu sehingga sangat memungkinkan tanah akan tergenang pada saat pasang dan akan kering pada saat surut terendah.
Hasil penelitian Kusumahadi  (2008) menunjukkan tekstur halus (di daerah tambak, dan daerah jalur hijau) sampai agak halus (di lokasi daerah pembibitan) dengan kadar liat dan debu (lempung) cukup tinggi, dengan kisaran persentase 39,26 % - 51,82 %. Keadaan tekstur demikian ini tidak menguntungkan bagi pengembangan struktur tanah, tanah mudah melumpur waktu basah dan memanpat atau mengeras waktu kering. Pelumpuran dan pemampatan lapisan permukaan (dibantu hujan, pembasahan, pengeringan bergantian) akan memberikan pengaruh mekanika buruk terhadap akar dan menghambat / menghentikan pertukaran gas dan udara antara tanah dan atmosfera, selain juga mengganggu peredaran kelembaban tanah sehingga menggagalkan perkecambahan biji.
Bakau laki/bakau besar (Rhizophora) dapat tumbuh baik pada lumpur yang dalam dan tahan terhadap ombak dan angin. Jenis ini cocok ditanam di bagian depan garis pantai, terutama di pantai yang ombaknya cukup besar (Nybakken, 1992). Selanjutnya, Steenis (1988) menyatakan tumbuhan bakau (Rhizophora) merupakan tanamana golongan mangrove, berupa vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Tanaman ini termasuk kedalam famili Rhizophoraceae dengan 2-16 bunga majemuk, tangkai bunga lebih panjang dari tangkai daun, serta daun dengan ujung meruncing.
Kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat seperti air tenang/ombak tidak besar, ir payau, mengandung endapan lumpur, serta lereng endapan tidak lebih dari 0,25-0,5%.
Bakteri yang terdapat hampir di seluruh ekosistem yang bertanggung jawab untuk mendegradasi dan mendaur ulang unsur-unsur atau elemen esensial seperti karbon, nitrogen, dan fosfor. Energi yang terdapat dalam tubuh organismenya hidup, sehingga bakteri dapat mengatur sistem rantai makanan di perairan dan daratan (Alongi, 1994). Selanjutnya, Fritzgerald (2002) menyatakan keberadaan bakteri di dalam hutan mangrove memiliki arti yang sangat penting dalam menguraikan luruhan daun-daun mangrove menjadi unsur organik yang sangat penting dalam penyediaanmakanan bagi organisme yang mendiami hutan mangrove.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Martosubroto dan Naamin (2004) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove, maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaam Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/ha, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam hektar.
Mangrove sebagai vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga tumbuh pada pantai karang yang diatasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau lumpur atau pantai berlumpur dengan ciri tidak dipengaruhi oleh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, hutan tidak mempunyai tajuk, pohon-pohon dapat mncapai tinggi 40 m, Jenis pohon mulai dari laut ke darat terdiri atas Rhizopora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lamnitzera, Bruguira dan nipa, tumbuh-tumbuhan bawah Acosticum aureum, Acanthus Illicifalus, dan tumbuhan di pantai membentuk jalur pohon-pohonnya membentuk akar khas (Darsidi, 1996).

KESIMPULAN
Parameter lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove di dua lokasi penelitian menunjukkan pH yang rendah sekitar 6,1-6,8 namun masih relevan dengan pertumbuhan hutan mangrove, kedua lokasi juga memiliki kelas tekstur lempung berdebu untuk semua tempat pengambilan sampel tanah dan hal ini masih layak untuk pertumbuhan mangrove, sehingga tidak mengganggu kehidupan mangrove di lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A, L.S. Suwelo., S.H Yunia dan S. Manan. 1990. Kearah penatagunaan Hutan Mangrove.
Duta Rimba 117-118/XVI/1990. majalah bulanan perum perhutani.
Alongi, D. M.1994. The Role of Bacteria in Nutrient Recycling in Tropical Mangrove and Other 
Coastal Benthic Ecosystem Hydrobiology. 285: 19-32A
Bengen, D. 2000. Pedoman teknis. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove, PKPSL-IPB, 
bogor
Darsidi, A. 1996. perkembangan pemanfaatan mangrove di Indonesia. Prosiding. Seminar III 
ekonomi mangrove. Panitia program. LIPI. Jakarta.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi.Bumi Aksara. Jakarta
Fitzgerald Jr. W. J. 2000. Integrated Mangrove Forest and Aquaculture Systems in Indonesia In: 
Primavera, J. H., Gracia, L. M. B., Castranos, M.T., Surtida, M. B (Eds), Mangrove-Frendly 
Aquaculture SEAFDEC, pp. 21-34
Halidah. 2000.  Produksi dan Kecepatan Penguraian Serasah Rhizophora spp dan B.Gimmnorrhiza  di
teluk Kedari, Sulawesi Tenggara. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan, Makassar 22 
November 2000: 202-208. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang
Juwana, K. R. S. 2005. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta
Kusumahadi, K.S. 2008. Watak dan Sifat Tanah Areal Rehabilitasi Mangrove Tanjung Pasir, 
Tangerang.  Jurnal Vis Vitalis, Vol. 01 No. 1, Tahun 2008. Fakultas Biologi Universitas Nasional,   
Jakarta
Martosubroto dan Naamin. 2004. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah dan Hutan Mangrove Hasil reboisasi yang Berbeda Kelas Umurnya. Tesis. Program Pascasarjana ITB. 59 hal.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. 368 hal
Nybakken, J.W. 1992. biologi laut suatu pendekatan bioplogis. PT. gramedia pustaka utama, jakarta

Susiana. 2012. Klasifikasi Tanah Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur.  

http://balurannationalpark.web.id/laporan/klasifikasi-tanah-hutan-mangrove-taman-nasional-baluran-

jawa-timur/. Copyright © Baluran National Park, East Java – Indonesia. Diakses tanggal 12 

Nopember 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar