PENGARUH SIFAT FISIK DAN KIMIA
TANAH TERHADAP KOMUNITAS HUTAN MANGROVE (KASUS DI KABUPATEN SINJAI)
INFLUENCE OF PHYSICAL AND CHEMICAL SOIL
OF COMMUNITY FOREST
MANGROVE (CASE IN
SINJAI REGENCY)
Oleh :
1) PATANG
1)
Staf Pengajar Politeknik
Pertanian Negeri Pangkep
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di Desa Tongke-tongke
dan Lingkungan Pangasa Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten
Sinjai dengan tujuan untuk mengetahui
pengaruh parameter lingkungan seperti sifat fisik dan kimia tanah terhadap komunitas hutan mangrove di Kabupaten Sinjai.
Hasil penelitian menunjukkan parameter lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove di
dua lokasi penelitian menunjukkan pH yang rendah sekitar 6,1-6,8 namun masih
relevan dengan pertumbuhan hutan mangrove, kedua lokasi memiliki kelas tekstur
lempung berdebu untuk semua tempat pengambilan sampel dan hal ini masih layak
untuk pertumbuhan mangrove, sehingga tidak mengganggu kehidupan mangrove di
lokasi penelitian.
Kata kunci : sifat fisik, sifat kimia, mangrove.
ABSTRACT
The
study was conducted in the village of
Tongke-tongke and
Lingkungan Pangasa Samataring Village District East Sinjai
of Sinjai Regency in
order to determine the effect of
environmental parameters such as soil physical and chemical properties of the mangrove forest
communities in the district of Sinjai. The
results showed the soil environmental parameters that influence the
growth of mangroves at two locations showed
a low pH around
6.1 to 6.8, but still relevant to the
growth of mangrove forests, both locations have a dusty clay
texture classes for
all sampling sites and this still viable
for growing mangroves,
so it does not interfere with the lives of mangroves in
the study site.
Key word : Physical properties,
chemical properties, mangrove
PENDAHULUAN
Ekosistem
mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra pasut dari
pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuaria yang didominasi oleh halofita,
yaitu tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi yang
berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi
tumbuh-tumbuhan dan hewan (Juwana, 2004). Sedangkan Nybakken (1992) menyatakan hutan
mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varitas
komunitas tumbuhan pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesis
pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh
dalam perairan asin.
Tumbuhan mangrove tumbuh di atas dataran
lumpur digenangi air laut atau air payau sewaktu air pasang atau digenangi air
sepanjang hari. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjaminterpeliharanya
lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut serta
merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti
ikan, udang, kepiting, kerang, siput dan hewan jenis lainnya. Di samping itu,
hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti
monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan
mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat
untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu, juga sebagai
kehidupan dan sumber reseki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang
sangat tergantung kepada sumber daya alam dari hutan mangrove yang ada
(Fachrul, 2007).
Pengelolaan
hutan mangrove seringkali dihadapkan pada suatu masalah, bagaimana menciptakan
keseimbangan antara 3 fungsi hutan mangrove.
fungsi ekologis, ekonomi dan fisik (Abdullah, 1990). Selanjutnya, Bengen (2000) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap semua pihak, baik yang berada disekitar kawasan maupun diluar kawasan.
fungsi ekologis, ekonomi dan fisik (Abdullah, 1990). Selanjutnya, Bengen (2000) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap semua pihak, baik yang berada disekitar kawasan maupun diluar kawasan.
Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir
adalah menjadi penyambung darat dan laut, serta peredam gejala-gejala alam yang
ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga menjadi
penyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghidupan
masyarakat sekitarnya (Fachrul, 2007).
Perkembangan hutan mangrove tidak dapat dilepas dengan aspek lingkungan
dimana mangrove tersebut tumbuh dan berkembang. Aspek lingkungan yang dimaksud
adalah aspek parameter lingkungan seperti sifat fisik tanah (tekstur dan struktur tanah) dan sifat kimia
tanah (pH, kandungan N). Sedangkan Nontji (1993)
menyatakan kesuburan perairan sekitar kawasan hutan
mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik yang berasal dari guguran
serasah. Hal inilah
yang dikaji dalam penelitian ini, kaitannya dengan pertumbuhan dan komunitas
hutan mangrove.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sifat fisik dan kimia tanah terhadap komunitas hutan mangrove
(kasus di Kabupaten Sinjai)
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain
penelitian yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
adalah penelitian survey yang bersifat deskriptif analisis yang akan
dilanjutkan dengan analisis kuantitatif yang berusaha mengungkap hubungan
antara satu variabel dengan variabel lainnya.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Format
penelitian yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Penelitian ini akan
dilaksanakan di dua desa/kelurahan yaitu Desa Tongke-tongke dan Lingkungan Pangasa
Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu bulan
September sampai Nopember
2010.
Teknik
Pengumpulan Data
Sebelum
dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan terlebih dahulu pengamatan lapangan
yang meliputi keseluruhan kawasan hutan dengan tujuan untuk melihat secara umum
hutan mangrove.
Selanjutnya dilakukan pembangian daerah pengamatan menjadi tiga yaitu stasiun
sampel untuk mengetahui fitososiologi (struktur dan klasifikasi), dan komposisi
jenis mangrove yaitu stasiun yang mewakili daerah yang masih memiliki vegetasi
mangrove tebal, vegetasi sedang dan stasiun yang mewakili daerah yang hanya
sedikit ditumbuhi vegetasi mangrove. Pada masing-masing stasiun ini dibuat
transek garis tegak lurus garis pantai ke arah darat. Panjang garis transek
bervariasi menurut ketebalan garis hijau (Fachrul, 2007).
Pengambilan
sampel dilakukan pada jarak antara 0-10 m, 20-30 m dan 40-50 m dari garis
pantai dan seterusnya. Dari setiap transek, data vegetasi diambil dengan
menggunakan metode kuadrat berukuran 10x10 m2 untuk pohon
berdiameter > 10 cm yang terletak di sebelah kiri dan atau kanan transek.
Pada setiap petak tersebut dibuat petak yang lebih kecil dengan ukuran 5x5 m2.
Dalam petak itu dikumpulkan data tentang anak pohon berdiameter 2-10 cm
(Fachrul, 2007). Tanah
diambil lalu dimasukkan dalam kantong plastik dan dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis.
Oleh
karena, hutan
mangrove pada lokasi penelitian sangat luas, maka tidak memungkinkan untuk
dilakukan penelitian secara sensus, dan oleh sebab itu penelitian dilaksanakan
secara sampling terhadap tanaman atau vegetasi mangrove yang menjadi obyek
penelitian.
Metode
pengumpualan data yang akan dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini atau pemantauan
vegetasi akan digunakan metode transek yaitu jalur sempit melintang pada lahan
yang akan diteliti. Tujuan metode ini untuk mengetahui hubungan perubahan
vegetasi dan perubahan lingkungan atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada
di suatu lahan secara cepat. Untuk
melengkapi analisis vegetasi dalam komunitas hutan mangrove ini, dikumpulkan
data parameter lingkungan yang mempengaruhi kehidupan mangrove seperti sifat fisik
tanah (tekstur dan struktur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan N).
Analisis data
Tanah hasil
sampling dianalisis di analisis laboratorium Kimia dan Tanah Politeknik
Pertanian Negeri Pangkep. Parameter yang dianalisis adalah sifat fisik dan kimia
tanah. Sifat fisik yang dianalisis adalah tekstur tanah; sedangkan sifat kimia tanah
yang dianalisis adalah kemasaman dan N.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil analisis tanah di laboratorium tanah
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep terhadap kualitas tanah di lokasi
penelitian yaitu di Desa Tongke-Tongke dan Lingkungan Pangasa dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Kualitas Tanah Hutan Mangrove berdasarkan
Tingkat Kepadatan Pohon di desa Tongke-Tongke, 2011
No
|
Kepadatan Pohon
|
pH
|
N (%)
|
Tekstur (%)
|
Kelas tekstur
|
||
Pasir
|
Liat
|
Debu
|
|||||
1
|
Padat
|
6,6
|
0,16
|
20
|
21
|
59
|
Lempung Berdebu
|
2
|
Sedang
|
6,8
|
0,18
|
20
|
20
|
60
|
Lempung Berdebu
|
3
|
Jarang
|
6,4
|
0,12
|
18
|
21
|
61
|
Lempung Berdebu
|
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kimia dan Tanah
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas tanah
hutan mengrove di lokasi penelitian khususnya di desa Tongke-Tongke memiliki
kualitas tanah yang hampir sama baik pada kepadatan pohon mangrove yang jarang,
sedang dan padat. pH tanah berkisar antara 6,4 – 6,8. Nilai pH ini masih sangat
cocok untuk pertumbuhan hampir semua jenis mangrove khususnya Rhizhopora. Namun
demikian, kandungan N (%) masih tergolong kecil karena hanya berkisar antara
0,12-0,18% saja. Berdasarkan tekstur tanahnya, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian baik dengan kepadatan jarang, sedang maupun
padat umumnya didominasi oleh tekstur debu dengan tekstur antara 59-61%.
Berbeda dengan hasil penelitian Susiana (2012) yang melakukan penelitian di
Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur menunjukkan kemasaman tanah
pada semua lokasi penelitian cenderung netral-basa. Hasil penelitian Kusumahadi (2008) juga menunjukkan pH tanah tanpa persoalan, dengan kisaran
antara 5,51 – 7.09. Kategori kemasaman tanah di areal rehabilitasi ini adalah
agak masam sampai netral. Akan tetapi, bila dibandingkan antara jalur hijau,
pematang tambak dan lokasi pembibitan nampak bervariasi, tetapi perbedaannya
kecil bahkan hampir sama, yaitu diantara 5,51-5,59 (agak masam) pada pematang
tambak 6,24-7,09 (agak masam sampai netral) pada jalur hijau dan 6.80-9.90
(netral) pada lokasi pembibitan. Kondisi pH tanah yang demikian ini, nampaknya
juga menjadi faktor perombakan bahan organik menjadi lancar
Tabel 2. Kualitas Tanah Hutan Mangrove berdasarkan
Tingkat Kepadatan Pohon di Lingkungan Pangasa, 2011
No
|
Kepadatan Pohon
|
pH
|
N (%)
|
Tekstur (%)
|
Kelas tekstur
|
||
Pasir
|
Liat
|
Debu
|
|||||
1
|
Padat
|
6,1
|
0,15
|
17
|
22
|
61
|
Lempung Berdebu
|
2
|
Sedang
|
6,4
|
0,18
|
19
|
22
|
59
|
Lempung Berdebu
|
3
|
Jarang
|
6,8
|
0,19
|
19
|
21
|
60
|
Lempung Berdebu
|
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kimia dan Tanah
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kualitas tanah
hutan mengrove di lokasi penelitian khususnya di Lingkungan Pangasa menunjukkan
nilai pH tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan baik pada lokasi yang
jarang pohon mangrovenya, maupun pada lokasi yang sedang maupun padat pohon mangrovenya, yaitu berkisar antara 6,1-6,8. Nilai pH ini
tergolong masih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove berbagai
jenis termasuk jenis Rhizophora. Hal ini juga
berbeda dengan hasil penelitian Susiana (2012) yang melakukan
penelitian di Hutan mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur menunjukkan kemasaman
tanah pada semua lokasi penelitian cenderung netral-basa. Demikian pula nilai N (%) juga masih tergolong rendah dengan kisaran antara
17-19%. Namun, nilai N (%) di lokasi Lingkungan
Pangasa masih tinggi dibandingkan dengan N tanah di Desa Tongke-Tongke. Seluruh
tanah di lokasi penelitian baik di Desa Tongke-Tongke maupun di lingkungan
Pangasa memiliki kelas tekstur lempung berdebu sehingga sangat memungkinkan
tanah akan tergenang pada saat pasang dan akan kering pada saat surut terendah.
Hasil penelitian Kusumahadi (2008) menunjukkan tekstur halus (di daerah
tambak, dan daerah jalur hijau) sampai agak halus (di lokasi daerah pembibitan)
dengan kadar liat dan debu (lempung) cukup tinggi, dengan kisaran persentase
39,26 % - 51,82 %. Keadaan tekstur demikian ini tidak menguntungkan bagi
pengembangan struktur tanah, tanah mudah melumpur waktu basah dan memanpat atau
mengeras waktu kering. Pelumpuran dan pemampatan lapisan permukaan (dibantu
hujan, pembasahan, pengeringan bergantian) akan memberikan pengaruh mekanika
buruk terhadap akar dan menghambat / menghentikan pertukaran gas dan udara
antara tanah dan atmosfera, selain juga mengganggu peredaran kelembaban tanah sehingga
menggagalkan perkecambahan biji.
Bakau laki/bakau besar (Rhizophora) dapat tumbuh baik pada lumpur yang dalam dan tahan
terhadap ombak dan angin. Jenis ini cocok ditanam di bagian depan garis pantai,
terutama di pantai yang ombaknya cukup besar (Nybakken, 1992). Selanjutnya,
Steenis (1988) menyatakan tumbuhan bakau (Rhizophora)
merupakan tanamana golongan mangrove, berupa vegetasi hutan yang tumbuh
diantara garis pasang surut. Tanaman ini termasuk kedalam famili Rhizophoraceae
dengan 2-16 bunga majemuk, tangkai bunga lebih panjang dari tangkai daun, serta
daun dengan ujung meruncing.
Kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi
mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat seperti air
tenang/ombak tidak besar, ir
payau, mengandung endapan lumpur, serta lereng endapan tidak lebih dari 0,25-0,5%.
Bakteri yang terdapat hampir di seluruh
ekosistem yang bertanggung jawab untuk mendegradasi dan mendaur ulang
unsur-unsur atau elemen esensial seperti karbon, nitrogen, dan fosfor. Energi
yang terdapat dalam tubuh organismenya hidup, sehingga bakteri dapat mengatur
sistem rantai makanan di perairan dan daratan (Alongi, 1994). Selanjutnya,
Fritzgerald (2002) menyatakan keberadaan bakteri di dalam hutan mangrove
memiliki arti yang sangat penting dalam menguraikan luruhan daun-daun mangrove
menjadi unsur organik yang sangat penting dalam penyediaanmakanan bagi
organisme yang mendiami hutan mangrove.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Martosubroto dan Naamin (2004) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin
meningkatnya luasan kawasan mangrove, maka produksi perikanan pun turut
meningkat dengan membentuk persamaam Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi
tangkapan dalam ton/ha, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam hektar.
Mangrove sebagai vegetasi hutan yang tumbuh
diantara garis pasang surut, tetapi juga tumbuh pada pantai karang yang
diatasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau lumpur atau pantai berlumpur dengan
ciri tidak dipengaruhi oleh
iklim, dipengaruhi pasang
surut, tanah tergenang air
laut, hutan tidak mempunyai
tajuk, pohon-pohon dapat mncapai tinggi 40 m, Jenis pohon mulai dari laut ke darat terdiri
atas Rhizopora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lamnitzera, Bruguira dan
nipa, tumbuh-tumbuhan bawah Acosticum aureum,
Acanthus Illicifalus, dan tumbuhan di pantai membentuk
jalur pohon-pohonnya
membentuk akar khas (Darsidi, 1996).
KESIMPULAN
Parameter lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove
di dua lokasi penelitian menunjukkan pH yang rendah sekitar 6,1-6,8 namun masih
relevan dengan pertumbuhan hutan mangrove, kedua lokasi juga memiliki kelas
tekstur lempung berdebu untuk semua tempat pengambilan sampel tanah dan hal ini
masih layak untuk pertumbuhan mangrove, sehingga tidak mengganggu kehidupan
mangrove di lokasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A, L.S.
Suwelo., S.H Yunia dan S. Manan. 1990. Kearah penatagunaan Hutan Mangrove.
Duta
Rimba 117-118/XVI/1990. majalah bulanan perum perhutani.
Alongi, D. M.1994. The Role of Bacteria
in Nutrient Recycling in Tropical Mangrove and Other
Coastal Benthic Ecosystem
Hydrobiology. 285: 19-32A
Bengen, D. 2000.
Pedoman teknis. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove, PKPSL-IPB,
bogor
Darsidi, A. 1996.
perkembangan pemanfaatan mangrove di Indonesia. Prosiding. Seminar III
ekonomi
mangrove. Panitia program. LIPI. Jakarta.
Fachrul, M. F.
2007. Metode Sampling Bioekologi.Bumi Aksara. Jakarta
Fitzgerald Jr. W. J. 2000. Integrated
Mangrove Forest and Aquaculture Systems in Indonesia In:
Primavera, J. H.,
Gracia, L. M. B., Castranos, M.T., Surtida, M. B (Eds), Mangrove-Frendly
Aquaculture SEAFDEC, pp. 21-34
Halidah. 2000. Produksi dan Kecepatan Penguraian Serasah Rhizophora spp dan B.Gimmnorrhiza di
teluk Kedari, Sulawesi Tenggara. Prosiding
Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan, Makassar 22
November 2000: 202-208. Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang
Juwana, K. R. S.
2005. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Djambatan. Jakarta
Kusumahadi, K.S. 2008. Watak dan Sifat Tanah Areal Rehabilitasi Mangrove Tanjung Pasir,
Tangerang. Jurnal Vis Vitalis, Vol. 01
No. 1, Tahun 2008. Fakultas Biologi Universitas Nasional,
Jakarta
Martosubroto dan
Naamin. 2004. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah dan Hutan Mangrove Hasil
reboisasi yang Berbeda Kelas Umurnya. Tesis. Program Pascasarjana ITB. 59 hal.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. 368 hal
Nybakken, J.W.
1992. biologi laut suatu pendekatan bioplogis. PT. gramedia pustaka utama,
jakarta